Model Pembelajaran Kooperatif STAD Sebagai Alternatif Model Pembelajaran Matematika
Sistem pendidikan nasional Indonesia dimaksudkan untuk dapat menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, meningkatkan mutu dan relevansi dalam pendidikan, serta efisiensi manajemen pendidikan dalam menghadapi tuntutan globalisasi. Era globalisasi yang sedang terjadi saat ini dihadapkan pada tantangan yang lebih kompleks dan persaingan sumber daya manusia yang semakin ketat, sehingga dibutuhkan sumber daya manusia yang unggul dengan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu upaya pemerintah menghasilkan sumber daya manusia yang unggul dan memiliki kemampuan untuk dapat bersaing di era globalisasi adalah melalui pendidikan.
Pendidikan merupakan salah satu aspek penentu kemajuan sebuah negara, termasuk di Indonesia. Mengingat pentingnya peran pendidikan, maka dibutuhkan pendidikan yang terencana, terarah, dan berkesinambungan. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 Ayat 1 bahwa pendidikan adalah usaha sadar terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Lebih lanjut, di dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Akan tetapi, pada kenyataannya yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Pendidikan di Indonesia belum dapat mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan dengan optimal. Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi adalah masih rendahnya mutu pendidikan. Permasalahan mutu pendidikan di Indonesia ini yaitu berupa rendahnya kualitas pembelajaran seperti metode mengajar guru yang tidak tepat, kurikulum, manajemen sekolah yang tidak efektif, atau kurangnya motivasi siswa dalam belajar. Pembelajaran di kelas yang selama ini masih berpusat pada guru dan tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif. Guru banyak menggunakan metode ceramah tanpa ada variasi lain dalam penyampaian materi pelajaran kepada siswa. Realita lapangan menunjukan bahwa siswa tidak memiliki kemauan belajar yang tinggi. Banyak siswa merasa malas belajar di dalam kelas, tidak mampu memahami dengan baik pelajaran yang disampaikan guru mereka. Hal ini menunjukan bahwa siswa tidak mempunyai motivasi yang tinggi untuk belajar. Siswa masih beranggapan kegiatan belajar merupakan kegiatan yang tidak menyenangkan dan memilih kegiatan lain di luar konteks belajar.
Salah satu kelompok mata pelajaran adaptif yang diajarkan pada hampir semua jenjang pendidikan adalah mata pelajaran matematika. Matematika adalah ilmu universal yang mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu dan berperan besar dalam perkembangan teknologi dan informasi yang berkembang pesat. Untuk menguasai dan menciptakan teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini yaitu melalui pembelajaran matematika yang berkualitas. Hal ini sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika yang dikemukakan Depdiknas (2002: 72) bahwa tujuan pembelajaran matematika pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah yaitu mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan di dunia yang berkembang melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efisien, dan efektif. Berdasarkan tujuan tersebut, tampak jelas bahwa tujuan dari pembelajaran matematika adalah agar siswa memiliki kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan ini sangat berguna bagi siswa saat mendalami matematika maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk menciptakan pembelajaran matematika yang berkualitas, diperlukan pembelajaran matematika yang di dalamnya terjadi proses interaksi antara guru dan siswa dengan melibatkan pengembangan pola pikir dan mengolah logika pada suatu lingkungan belajar yang sengaja diciptakan guru dengan berbagai metode agar program belajar matematika bisa tumbuh dan berkembang optimal dan siswa dapat melakukan kegiatan belajar efektif dan efisien. Akan tetapi, pembelajaran matematika yang dilaksanakan guru sampai saat ini masih kurang mengedepankan pengembangan kemampuan berpikir siswa. Proses pembelajaran matematika lebih banyak mendorong siswa menguasai sejumlah materi pelajaran. Pembelajaran yang dilakukan bersifat teoritis dan abstrak. Kemampuan siswa diperoleh melalui latihan-latihan, sehingga perilaku siswa dibangun atas proses kebiasaan dan hal ini menyebabkan siswa kurang mendapat kesempatan mengembangkan kemampuan berpikirnya dan menemukan alternatif pemecahan masalah, tetapi mereka sangat tergantung pada guru. Pada akhirnya siswa hanya dapat menghapalkan saja semua konsep tanpa memahami maknanya. Pembelajaran seperti ini bisa mengakibatkan prestasi belajar yang diperoleh siswa tidak akan maksimal.
Permasalahan pembelajaran matematika di atas, diperkuat oleh penjeasan dari Marpaung menyebutkan faktor-faktor yang menyebabkan nilai matematika rendah yaitu proses pembelajaran matematika di kelas dengan ciri-ciri berikut: (1) guru aktif menyampaikan sejumlah informasi, (2) siswa dipaksa belajar, tidak menumbuhkan kesadaran makna belajar, (3) pembelajaran berfokus kepada guru, (4) ketergantungan siswa pada guru (5) kompetensi siswa kurang diperhatikan dan dikembangkan, (6) pemahaman materi yang dipelajari diukur melalui tes objektif, (7) kesempatan siswa melakukan refleksi dan negosiasi melalui interaksi kurang dikembangkan, serta (8) pemahaman siswa cenderung pemahaman instrumental bukan pada pemahaman relasional. Akibatnya, siswa tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan ide-ide kreatif, kurang berkembangannya daya nalar, dan kurang kreativitas dalam memecahkan masalah (Fahinu, 2005: 1).
Dalam pembelajaran, prestasi belajar merupakan bagian terpenting sebagai produk akhir dari kegiatan belajar dan mengajar yang telah dilaksanakan. Menurut Bustalin (2004: 11) prestasi belajar adalah hasil yang diperoleh dari proses belajar mengajar. Prestasi belajar siswa adalah perubahan dalam hal kecakapan tingkah laku ataupun kemampuan yang dapat bertambah selama beberapa waktu dan tidak disebabkan proses pertumbuhan, tetapi adanya situasi belajar, perwujudan dalam bentuk hasil proses belajar tersebut dapat berupa pemecahan lisan atau tulisan, dan keterampilan dan pemecahan masalah yang langsung dapat diukur atau dinilai dengan menggunakan tes-tes yang berstandar.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa. Slameto (2010: 54) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa terdiri dari atas faktor intern dan faktor ekstern. Salah satu faktor ekstern itu adalah sekolah, meliputi: metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran di atas ukuran, keadaan gedung, metode belajar, dan tugas rumah.
Dari uraian tersebut, terlihat bahwa metode pembelajaran adalah salah satu faktor penentu keberhasilan anak didik dalam menuntut ilmu. Metode sebagai cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Penguasaan substansi tidaklah cukup, jika metode yang dipakai tidak tepat. Hal ini merupakan salah satu usaha yang tidak boleh ditinggalkan tenaga pendidik adalah bagaimana memahami kedudukan dari metode sebagai salah satu komponen yang ikut ambil bagian bagi keberhasilan kegiatan pembelajaran. Guru merupakan tenaga pendidik diharapkan dapat mengelola seluruh proses kegiatan belajar dan mengajar secara efektif. Untuk itu, guru harus memliki pengetahuan yang cukup tentang prinsip belajar sebagai acuan dasar dalam merancang kegiatan belajar dan mengajar, salah satunya memilih metode yang tepat dalam proses pembelajaran.
Permasalahan pembelajaran matematika yang diuraikan di atas juga telah dialami oleh hampir semua guru ketika melaksanakan proses pembelajaran matematika di kelas. Minat siswa untuk belajar matematika selama ini dinilai masih rendah. Siswa kurang aktif mengikuti pembelajaran dan cenderung telihat bosan dan jenuh. Ketika diminta mengerjakan soal-soal latihan maupun PR hanya sebagian kecil siswa yang mau menyelesaikannya. Salah satu yang penyebab utama permasalahan ini yaitu penggunaan metode pembelajaran yang selama ini diterapkan dalam pembelajaran di kelas berupa metode ceramah, dimana metode ini terpusat pada guru.
Dengan demikian, mengingat pembelajaran matematika yang dilaksanakan selama ini cenderung masih terpusat kepada guru, maka diperlukan sebuah model pembelajaran yang terpusat pada siswa. Sehingga dapat merangsang, mendorong, dan memfasilitasi siswa untuk dapat meningkatkan kemampuan dalam pemecahan masalah matematika. Salah satu variasi model pembelajaran yang bisa digunakan untuk mengatasinya yaitu model pembelajaran kooperatif (cooperative learning). Menurut Sugiyanto (2010: 37), pembelajaran kooperatif yaitu model pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar.
Lebih lanjut, Slavin memberikan penjelasan bahwa cooperative learning merupakan suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari 4 sampai 6 orang, dengan struktur kelompoknya yang bersifat heterogen. Keberhasilan belajar dalam kelompok tergantung kemampuan dan aktivitas anggota kelompok, baik secara individual maupun secara kelompok (Solihatin dan Raharjo, 2007: 4).
Penerapan model pembelajaran kooperatif banyak memiliki keuntungan. Karena tujuan utama penerapan model pembelajaran ini menurut Isjoni (2009: 14) adalah agar peserta didik dapat belajar berkelompok bersama teman-temannya dengan cara saling menghargai pendapat dan memberikan kesempatan pada orang lain untuk mengemukakan gagasanya dengan menyampaikan pendapat mereka secara berkelompok.
Salah satu tipe model pembelajaran kooperatif adalah tipe Student Teams Achievement Division (STAD). Nurhadi (2004: 116) menyebutkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah model pembelajaran dimana siswa di dalam kelas dibagi ke dalam beberapa kelompok atau tim yang masing-masing terdiri atas 4 sampai 5 orang anggota kelompok yang memiliki latar belakang kelompok yang heterogen, baik jenis kelamin, ras etnik, maupun kemampuan intelektual (tinggi, rendah, dan sedang). Tiap anggota tim menggunakan lembar kerja akademik dan kemudian saling membantu untuk menguasai bahan ajar melalui tanya jawab atau diskusi antar sesama anggota tim. Sedangkan menurut Rahayu (2003: 13), STAD merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang paling sederhana dan sebuah model yang bagus untuk memulai bagi seorang guru yang baru untuk mendekatkan pendekatan kooperatif. Jadi, inti tipe STAD ini adalah bahwa guru menyampaikan materi, kemudian siswa bergabung dalam kelompoknya yang terdiri atas 4 – 6 orang untuk menyelesaikan soal-soal yang diberikan guru. Metode STAD lebih mementingkan sikap partisipasi siswa dalam rangka mengembangkan potensi kognitif dan afektif.
Lebih lanjut, Slavin memberikan penjelasan bahwa metode STAD terdiri atas 6 (enam) siklus pembelajaran yang membawa siswa pada suasana kerjasama yang diharapkan. Siklus tersebut meliputi: (1) tahap penyajian materi (termasuk tahap persiapan), (2) tahap kegiatan kelompok, (3) tahap pelaksanaan tes individu, (4) tahap perhitungan skor tes individu, serta (5) tahap pemberian penghargaan kelompok (Fajar, 2002: 26).
Berdasarkan uraian di atas, melalui implementasi model pembelajaran kooperatif tipe STAD diharapkan menjadi salah satu alternatif untuk memecahkan permasalahan pembelajaran matematika dan mampu meningkatkan prestasi belajar matematika siswa yang selama ini dihadapi oleh guru-guru matematika.
Penulis: Bustanil Arifin, S.Pd (Pengajar Mata Pelajaran Matematika di SMKN 1 Martapura)
Referensi:
Fahinu. 2005. Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kemandirian Belajar Matematika pada Mahasiswa Melalui Pembelajaran Generatif. Desertasi Doktor pada PPS UPI: Tidak Diterbitkan.
Bustalin. 2004. Psikologi Belajar Mengajar. Bandung: CV. Mandar Maju.
Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Sugiyanto. 2010. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: Yuma Pustaka.
Solihatin dan Raharjo. 2007. Cooperative Learning. Jakarta : Bumi Aksara.
Isjoni. 2009. Cooperative Learning. Bandung: CV.Alfabeta.
Nurhadi. 2004. Dasar-Dasar Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Fajar, A. 2002. Portofolio Dalam Pelajaran IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya.